CANGKIR DAN KOPI

Dalam sebuah acara reuni, beberapa alumni universitas Berkeley, California, menjumpai dosen kampus mereka waktu dulu. Melihat para alumni membicarakan kesuksesan mereka, profesor tersebut segera ke dapur dan mengambil seteko kopi panas dan beberapa cangkir yang sengaja berbeda-beda. Mulai cangkir yang terbuat dari kristal, kaca, melamin dan plastik.
Profesor tersebut menyuruh para alumni untuk mengambil cangkir dan mengisinya dengan kopi.
Setelah masing-masing alumni sudah mengisi cangkirnya dengan kopi, profesor tersebut berkata:
"Perhatikanlah, bahwa kalian semua memilih cangkir-cangkir yang bagus dan kini yang tersisa hanyalah cangkir-cangkir yang murah dan tidak menarik.
Memilih hal yang terbaik adalah wajar dan manusiawi meski belum tentu kalian butuhkan.
Namun persoalannya ketika kalian tidak mendapatkan cangkir yang bagus, perasaan kalian mulai terganggu dan kurang nyaman. Kalian secara otomatis melihat cangkir yang di pegang orang lain dan mulai membandingkan cangkir kalian.
pikiran kalian terfokus pada cangkir, padahal yang kalian nikmati bukanlah cangkirnya melainkan kopinya.

"Hidup kita seperti kopi dalam analogi tersebut di atas.
sedangkan cangkirnya adalah pekerjaan, jabatan dan harta benda yang kita miliki.

Pesan moralnya,
"jangan pernah membiarkan cangkir mempengaruhi kopi yang kita nikmati, cangkir bukanlah yang utama, tapi kwalitas kopi, itulah yang terpenting.
kita di anugerahi waktu dan potensi yang sama rata, tinggal tergantung dari diri kita, bagaimana kita memotivasi dan menyikapinya.

"Jangan berpikir bahwa kekayaan yang melimpah, karir yang bagus & pekerjaan yang mapan merupakan jaminan kebahagiaan. Itu konsep yang sangat keliru. Kwalitas hidup kita di tentukan oleh 'apa yang ada di dalam' bukan 'apa yang kelihatan dari luar'.
Apa gunanya kita memiliki segalanya, namun kita tidak pernah merasakan damai, suka cita dan ketentraman di dalam hidup kita? itu sangat menyedihkan, itu sama seperti kita menikmati kopi basi yang di sajikan di sebuah cangkir mewah dan mahal.

"Kunci menikmati kopi bukanlah seberapa bagus cangkinya tetapi seberapa bagus kwalitas kopinya,
"Kunci menikmati hidup bukanlah seberapa mewah dan melimpah ruahnya harta yang kita punya, tapi seberapa pintar kita memotivasi dan menyikapi hidup jadi lebih indah dan menyenangkan."

RENUNGAN CATATAN AKHIR - Ws RENDRA

Seringkali aku berkata, ketika semua orang memuji miliku,
bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan, bahwa miliku hanyalah titipan, bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya, bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya,
bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya,
bahwa putraku hanyalah titipan-Nya,
Tetapi mengapa aku tidak pernah bertanya:
Untuk apa Tuhan menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus aku lakukan untuk milik-Nya?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru merasa berat, ketika titipan itu di minta kembali oleh-Nya?
Ketika di minta kembali ku sebut itu sebagai musibah,
ku sebut itu sebagai ujian,
ku sebut itu sebagai petaka,
ku sebut itu dengan panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita.

Ketika aku berdo'a, ku minta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, padahal Tuhan senantiasa memberikan semua yang aku butuhkan,

Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas, dan ku tolak sakit, ku tolak kemiskinan, seolah-olah semua derita adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika.
Aku rajin beribadah, maka selayaknya derita menjauh dariku dan nikmat dunia kerap harus menghampiriku.

Ku perlakukan Tuhan seolah mitra dagang dan bukan kekasih,
ku minta Tuhan membalas perlakuan baikku.
Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku,

Tuhan,
padahal tiap hari ku ucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
"ketika langit dan bumi bertemu, bencana dan keberuntungan sama saja.

(puisi terakhir Ws Rendra dengan judul asli renungan indah yang di tuliskannya di atas ranjang rumah sakit 3 hari sebelum wafat)

Bukankah manusia terlahir tanpa sehelai benang pun menyertainya hingga Tuhan menitipkannya beragam pasilitas yang di butuhkannya.

Bukankah semua yang di miliki manusia adalah titipan dari-Nya,
layakkah aku terus meminta titipan-titipan dari-Mu lebih banyak lagi,
layakkah aku dapat titipan dari-Mu sebanyak yang ku mau,
bijakkah jika aku terus memaksa-Mu menitipkan sesuatu padaku seperti apa saja yang terbaik menurutku, bukan apa yang terbaik menurut-Mu?
Bukankah Engkaulah majikan di dunia ini dan akulah hamba-Mu?
Layakkah aku minta di cukupi segala kebutuhanku, sedangkan banyak sekali perintah dari-Mu aku abaikan?

"Ayo Tuhan. ayolah titipkan padaku ini dan itu lebih banyak lagi, agar aku rajin menyembah-Mu".

Tidakkah itu hanya akan menodai nilai ikhlas di hatiku, pantaskah aku terlalu memaksa-Mu untuk menitipkan apa-apa yang ku mau,
bisakah aku memaksa-Mu? rasanya itu sangat berlebihan dan kelewatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar